Hamidah Binti Sulaiman merasa bersyukur. Di usianya memasuki senja masih dapat bekerja. Bahkan hasil jerih kerja sebagai petugas kebersihan di Masjid Raya Baiturrahman (MRB) juga bisa dinikmati bersama ketiga anak dan cucunya.
Isteri dari Alm. Tarmizi ini hanya berpendidikan tidak memadai. “Saya sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Blang Paro, Pidie Jaya, tapi tidak sempat lulus, karena berhenti kelas empat,” katanya. Alasannya, ia terlena dan memilih berhenti sekolah pascalibur Ramadhan.
Semasa hidupnya, Tarmizi adalah tukang becak penumpang dengan penghasilan tidak seberapa. Apalagi hasil jasa itu mesti berbagi kepada pemilik becak. Karenanya Hamidah mesti bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Saya turut membantu suami mencari nafkah dengan mencuci/setrika pakaian tetangga,” sebut Hamidah yang pernah menetap di Lambaro Skep Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.
Saat ada yang menawarkannya untuk menjadi cleaning service di Masjid Raya Baiturrahman, ia spontan mengiakan. “Saya bekerja sebagai khadam di Masjid Raya Baiturrahman, kebetulan ada yang mengajak,” sebutnya. Menurutnya, selain menjadi sumber nafkah, ia yakin ada ikutan positif yang diraihnya, yaitu termasuk bagian ibadah. Karenanya apa pun besaran jasa yang diterimanya sebagai khadam di masjid bersejarah ini, ia tidak pernah mengeluh atau menuntut meminta lebih. “Alhamdulillah, inilah rezeki kita,” tambahnya.
Perempuan kelahiran Sigli, tahun 1965 ini pertama menjadi karyawan di MRB pada 1999. Ia bertugas dimulai sebagai penjaga WC umum. Pada 2013, seingatnya ia dimutasikan guna membersihkan taman lalu pada 2018 ia membersihkan lantai area shaf muslimah. Pada malam Ramadhan ada tugas tambahan, merapikan shaf jamaah muslimah shalat Isya/Tarawih.
Saat bertugas membersihkan celah-celah tiang dan mengelap rak Al Qur’an, ia mengalami musibah. “Saya terjatuh karena lantai licin, ada genangan air dari tiris bagian atap. Pergelangan tangan kiri patah dan sampai sekarang masih bermasalah,” kenangnya.
Dengan musibah ini, Kak Dah demikian ia biasa disapa, mendapatkan tugas dari manajemen masjid yang lebih ringan, yaitu merapikan mukena, membersihkan rak dan kerjaan kecil lainnya. Karena tangan kirinya masih sulit memegang, penghasilan tambahan sebagai profesi lama “cuci pakaian” tetangga pun ia hentikan dan dilanjutkan putri sulungnya, Susianti (40 th).
Selama mengabdi kepada umat ini, ia termasuk pekerja yang rajin. “Saya bekerja sebagai khadam di Masjid Raya ini belum pernah izin karena ada kegiatan lain. Kecuali saat baru terjadi musibah terjatuh itu,” ucapnya.
Kalau pun ia merasa keluhan ringan seperti pusing, Hamidah tetap masuk kerja. Tetapi, saat baru-baru merebaknya Covid-19, ia pernah didera sakit. Sebenarnya ia tetap ingin bekerja, tetapi dikuatirkan sakitnya terkait wabah pandemi ia mengikuti saran manajemen agar beristirahat di rumah saja.
Kedua putranya, Irwan Syahputra (35 th) atau Suprianis (33 th) juga berprofesi sebagai tukang becak penumpang. Warga Komplek Wadah Suci Panteriek, Banda Aceh ini lebih sering diantar-jemput oleh kedua anaknya untuk bekerja.
Sampai saat ini keluarga Hamidah masih berstatus miskin. Biasanya ia mendapatkan santunan dari Baitul Mal Banda Aceh atau dana peduli dari pihak lainnya namun sejak setahun ini tidak lagi diterima. NA RIYA ISON