Gema JUMAT, 29 Januari 2016
Oleh H. Ameer Hamzah
MalaM Ahad lalu (23/1) Saya d i u n d a n g masyarakat Sabang menyampaikan ceramah Maulid Nabi Muhammad SAW di Lapangan G a m p o n g Krueng Raya, Kota Sabang. Berikut catatan singkat safari dakwah tersebut. Sabang, menurut cerita orang-orang tua Aceh, berasal dari kata “saban” yang artinya ‘sama”. Kisahnya begini. Seorang nelayan dari Krueng Raya Aceh Besar hanyut ke sebuah pulau di ujung paling barat Sumatera. Orang tersebut diselamatkan oleh orang-orang di pulau tersebut.
Beberapa hari kemudian dikirim kembali dengan perahu ke Krueng Raya Aceh Besar. Lalu orang tersebut bercerita, bahwa pulau tersebut bernama Pulau Weh (pindah).
Diceritakan, pulau itu masyarakatnya sama (saban) dengan masyarakat yang ada di Aceh Besar. Saban bahasanya, saban adat istiadatnya dan saban juga agamanya, yakni menyembah benda (naturalisme) sebelum datang agama Islam. Kemudian orang Aceh besar menamakan orangorang di pulau itu dengan saban. Lalu lama-kelamaan berubah sebutannya menjadi Sabang.
Benarkah demikian? Wallahu a’lam. Cuma yang jelas, Sabang memang banyak persamaannya dengan Aceh daratan Sumatera. Laksamana Cheng Ho dari Cina memang menemukan orang-orang Lamuri Krueng Raya dan orangorang di Sabang belum beragama Islam pada abad ke 12 Masehi. Mereka juga belum berpakaian dari kain, tetapi mereka menutup aurat dari kulit kayu.
Agama Islam masuk ke Sabang sama dengan masuk ke Aceh Besar, yakni awal abad ke 14 M. Penduduk Sabang berasal dari Aceh Besar, Pidie, Aceh Barat, juga ada dari Aceh-Aceh yang lain seperti Aceh Utara, Simeulue. Juga ada orang China dan Batak. Cina masuk Sabang sejak tahun 1887 saat Belanda membuka Pelabuhan Bebas. Sejak dulu sampai sekarang orang-orang Sabang tetap mempertahankan kebersamaan, nilai-nilai Islam.
Di Sabang juga berlaku syariat Islam seperti di daratan Aceh umumnya, meski cara penerapannya di Sabang agak lebih longgar sedikit, karena Sabang adalah daerah tujuan wisata. Bagi masyarakat Sabang, turis bukan tantangan bagi syariat Islam. Mereka tidak membawa mssi apapun, kecuali hanya ingin menikmati keindahan alam Pulau Sabang. Dari sektor pariwisata, Pemkot Sabang menuai pendapatan yang luamayan.
Masalah narkoba
Seorang tokoh muda Sabang, Adlan (45) menyebutkan, “Kami tidak takut ISIS, teroris atau Gafatar. Mereka tidak ada di Sabang. Yang kami takutkan adalah Narkoba dan sejenisnya.” Generasi muda Sabang banyak yang terlibat dengan benda-benda haram tersebut. Adlan sangat mengharapkan pemerintah bersungguh-sungguh memerangi Narkoba.
“Selain sabu-sabu, di Sabang juga masih ada beberapa jenis judi, baik yang tradisional maupun menggunakan tehnologi komputer. Ini juga perlu pengawasan pemerintah,” ujar tokoh muda ini.
Hal yang sama juga diakui oleh dr Marwan, anggota DPRK, Sabang. Budayawan Sabang, Jamil Seda juga turut prihatin dengan maraknya judi dan narkoba akhir-akhir ini. Ihsalullah, Guru dari Dayah Modern Al-Mujaddid melihat sisi lain. Setiap Sabtu, banyak mahasiswa dari Banda Aceh yang berlibur ke Sabang, baik laki-laki maupun perempuan. Memang mereka tidak tidur sekamar, namun kebebasan yang mereka peroleh di pantai Sabang, dalam remang-remang, dapat membahayakan syariat Islam. Menurut Ihsal juga harus dicari cara untuk mengatur yang lebih islami.
Saya sependapat dengan Ihsal. Cukup banyak pemudapemuda dan remaja daratan yang berlibur ke Sabang di malam Ahad. Apa yang mereka cari di sana? Apakah karena di Sabang agak sedikit longgar untuk menghabiskan malam Ahad? Wallahu A’lam. Jangan sampai orang bilang, Sabang dulu, dengan Sabang era syariat Islam, juga saban, hana beda.
Previous ArticlePengelolaan Wakaf di Era Dinasti Islam
Next Article Pengurus Masjid Sebagai Nadzir
Related Posts
Add A Comment