Prof. Dr. M. Shabri Abd. Majid, SE., M.Ec – Guru Besar Ekonomi Islam FEB USK/Ketua Dewan Syariah Aceh (DSA)
Hijrah Ekonomi
Pembangunan yang digalakkan di negeri ini harusnya dapat dirasakan secara merasa oleh masyarakat. Apalagi sejumlah dana yang digelontorkan ke beberapa desa hendaknya memberikan pengaruh positif bagi kawasan setempat. Ketimpangan pembangunan dan ekonomi sudah saatnya diakhiri dengan peran serta berbagai kalangan. Simak wawancara singkat wartawan Tabloid Gema Baiturrahman Indra Kariadi dengan Guru Besar Ekonomi Islam FEB USK, Prof. Dr. M. Shabri Abd. Majid, SE., M.Ec
Apa makna dari hijrah dalam dimensi ekonomi umat Islam khususnya bagi masyarakat Aceh?
Hijrah merupakan gerakan dinamis yang bersifat progresif. Orang yang maju adalah orang yang senantiasa memiliki agenda hijrah dalam hidupnya bertujuan memperbaiki diri menuju kesempurnaan. Begitu juga masyarakat Aceh, dalam melaksanakan amalan syariah, baik dalam hal akidah, muamalah, dan akhlaq harus senantiasa menuju pelaksanaan syariah secara kaffah. Aktivitas ekonomi yang merupakan bagian dari amalan syariah, harus dilaksanakan sesuai dengan syariah. Keinginan masyarakat Aceh untuk melaksanakan aktivitas ekonomi yang bebas riba, gharar, dan maysir yang telah diregulasikan dalam Qanun No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) merupakan pelaksanaan agenda hijrah ekonomi yang sangat monumental di bumi Serambi Mekkah. Maka untuk mensukseskan agenda hijrah ekonomi dari sistem ribawi ke sistim bebas riba, masyarakat Aceh harus segera berbenah dan bersiap-siap menyambut dan mendukung penuh pelaksanaan Qanun LKS. Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, agenda pembebasan ekonomi Aceh dari sistem ribawi baru dapat diwujudkan pada tahun 2018 dengan ditekennya Qanun LKS oleh Gubernur Aceh.
Bagaimana momentum hijrah bagi Aceh dapat meningkatkan ekonomi masyarakatnya untuk lebih baik?
Hijrah ekonomi Aceh dari sistem ribawi dan sistem Islami diyakini mampu mewujudkan keadilan perekonomian Aceh. Praktik riba bukan saja bertentangan dengan Syariat Islam, tapi juga telah menyebabkan ketidak seimbangan pertumbuhan sektor keuangan dengan sektor ril sehingga menimbulkan inflasi, ketidakadilan ekonomi, dan bahkan krisis ekonomi. Kehadiran Qanun LKS yang mewajibkan semua lembaga keuangan di Aceh harus beroperasi sesuai dengan syariah akan mampu mendongkrak sektor ril, membuka lapangan kerja, mengurangi kemiskinan dan mewujudkan keadilan ekonomi Aceh. Qanun LKS benar-benar rahmat dan hadiah istimewa bagi masyarkat Aceh.
Bagaimana keberadaan Qanun LKS bagi pertumbuhan ekonomi di Aceh?
Ada beberapa pasal Qanun LKS yang memiliki daya ungkit pertumbuhan ekonomi di Aceh. Pertama, mendongkrak bisnis Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Pasal 14, Ayat 4 Qanun LKS mengamanatkan agar LKS mengalokasikan pembiayaan untuk UMKM minimal sebesar 30 persen pada tahun 2020 dan 40 persen pada tahun 2024. Lebih dari 70. ribu unit UMKM yang berada di Aceh yang sekarang hanya mendapat kucuran pembiyaan sekitar 7 persen dari perbankan, maka dengan amanat Qanun LKS ini UMKM akan mendapat prioritas pemberian modal oleh LKS. UMKM yang saat ini mampu menyerap hampir 90% tenaga kerja dan menyumbang lebih dari 60 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh, dengan keberpihakan Qanun LKS terhadap UMKM pasti akan mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi Aceh.
Kedua, mewujudkan keseimbangan pembangungan ekonomi melalui prioritas pertumbuhan sektor ekonomi ril. Pasal 14 Ayat 7 Qanun LKS mengamanatkan agar LKS secara bertahap menyediakan pembiayaan berbasis bagi hasil minimal sebesar 10 persen pada tahun 2020, 20 persen pada tahun 2022, dan 40 persen pada tahun 2024. Selama ini, jumlah pembiyaan yang diberikan lembaga perbankan syariah didominasi pembiayaan jual beli, seperti murabahah, dan kurang dari 10 persen pembiyaan berbasis bagi hasil, seperti musyarakah dan mudharabah. Padahal, produk atau akad berbasis bagi hasil inilah yang seharusnya menjadi andalan produk LKS karena kemampuannya untuk mendongkrak sektor ekonomi ril. Hal ini akan meningkatkan jumlah barang dan jasa yang tersedia di Aceh sehingga dapat menyeimbangi pergerakan sektor keuangan dan menekan laju inflasi. Pembiayaan berbasis bagi hasil ini sangat menjunjung tinggi nilai keadilan, karena keuntungan dibagi bersama antara LKS dan nasabah sesuai dengan kesepakatan bersama.
Ketiga, mempercepat tersedianya infrastruktur pembangungan ekonomi di Aceh. Pasal 23 Ayat 7 Qanun LKS memberi wewenang kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Aceh untuk mengeluarkan obligasi syariah (sukuk) untuk mendanai pembangunan ekonomi. Dengan mengeluarkan Sukuk yang diperjualbelikan kepada masyarakat, maka pemerintah akan memiliki dana yang cukup untuk mempercepat pembangunan ekonomi Aceh. Masyarakat Aceh dapat berpartisipasi aktif dalam mendanai pembangunan ekonomi Aceh dengan membeli sukuk dan sekaligus mendapat keuntungan
Terakhir, meningkatkan pengumpulan dana zakat di Aceh. Pasal 13 Ayat 2 Qanun LKS mengamanatkan kepada Bank Syariah untuk mendukung penghimpunan zakat, infak, sedekah dan wakaf dalam bentuk tunai atas nama Baitul Mal Kota/Kabupaten dan Baitul Mal Aceh. Nasabah yang menyimpan uang di bank syariah dan memiliki kesadaran untuk membayar zakat, maka dengan mudah dapat mengintruksikan bank syariah untuk memotong simpanannya untuk membayar zakat setiap tahun. Jelas ini akan meningkatkan jumlah penghimpunan zakat di Aceh yang selama ini hanya baru mencapai sekitar 8% dari potensinya.
Namun, sukses tidaknya agenda hijrah ekonomi Aceh dari sistem ribawi ke sistem Islami tentunya sangat ditentukan oleh dukungan padu masyarakat Aceh. Masyarakat mesti memiliki tingkat literasi ekonomi, perbankan, dan keuangan syariah yang benar. Ketika kita mengharapkan ekonomi Aceh benar-benar beroperasi murni sesuai syariah, maka LKS, pemerintah, masyarakat, dan semua pemangku kepentingan juga harus berprilaku murni syariah.[]