Awal kemerdekaan Republik Indonesia status Pengadilan Agama di Aceh tidak menentu, karena tidak mempunyai landasan hukum yang kuat. Namun di beberapa daerah di Sumatera sejak tanggal 1 Agustus 1946 telah terbentuk Mahkamah Syar’iyah, antara lain di daerah Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang dan Lampung. Semua Mahkamah Syar’iyah dimaksud kemudian diakui sah oleh Wakil Pemerintah Pusat Darurat di Pematang Siantar.
Pembentukan Mahkamah Syar’iyah di Keresidenan Aceh pada waktu itu hanya didasarkan kepada Kawat Gubernur Sumatera Nomor 189 tanggal 13 Januari 1947 yang waktu itu dijabat oleh seorang tokoh Aceh yaitu Mr T Muhammad Hasan yang disusul dengan Kawat Wakil Kepala Jawatan Agama Propinsi Sumatera Nomor 226/3/djaps tanggal 22 Pebruari 1947. Untuk mendapat landasan yang kuat atas surat kawat tersebut, Pemerintah Aceh membawa masalah tersebut ke sidang Badan Pekerja DPR dan akhirnya menguatkan kewenangan dimaksud dengan Putusannya tanggal 3 Desember 1947 Nomor 35.
Dalam perjalanannya Mahkamah Syar’iyah Aceh memperoleh landasan hukum yang kuat setelah ditetapkannya PP Nomor 29 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Aceh. PP tersebut keluar setelah ada desakan dari 17 tokoh ulama Aceh kepada pemerintah pusat yang dituangkan dalam Surat Pernyataan yang meminta kepada Departemen Agama agar memperjuangkan dasar hukum Mahkamah Syar’iyah di Daerah Aceh.
PP Nomor 29 Tahun 1957 tidak berumur panjang karena ternyata kemudian daerah-daerah lainnya di Indonesia juga menuntut hal yang sama kepada Pemerintah Pusat agar di daerah mereka juga dibentuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah.
Tuntutan daerah lain di luar Jawa dan Madura dipenuhi Pemerintah Pusat dengan dicabut kembali PP Nomor 29 tahun 1957 dan diganti dengan PPNo.45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Luar Jawa dan Madura.
Dengan demikian jelaslah bahwa Aceh merupakan daerah modal untuk terbentuknya Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Perlu diketahui bahwa sejak awal zaman kemerdekaan hingga saat ini, Pengadilan Agama tingkat banding yang ada di Aceh telah berganti-ganti nama, mulai dari Mahkamah Syar’iyah Daerah Aceh, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Banda Aceh, Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh dan terakhir Mahkamah Syar’iyah Aceh.
Era Otonomi Khusus
Dengan lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh telah terjadi sejarah baru bagi peradilan agama di Aceh. Karena salah satu lembaga yang harus ada di Aceh dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus adalah Peradilan Syariat Islam yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah.
Mahkamah Syar`iyah adalah lembaga Peradilan Syari’at Islam di Aceh sebagai pengembangan dari Peradilan Agama yang diresmikan pada tanggal 4 Maret 2003 Miladiyah bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1424 Hijriyah oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan dengan dihadiri Menteri Dalam Negeri Sabarno, Menteri Agama Said Agil Husin Almunawar dan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra.
Adapun kewenangan Mahkamah Syar`iyah adalah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Ditambah dengan perkara jinayat yang terdiri dari Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (judi) dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (mesum).
Kemudian pada tahun 2013, lahirlah Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013, yang merupakan hukum acara atau hukum formil penanganan perkara jinayat di Aceh. Pada Tahun 2014, kewenangan Mahkamah Syar’iyah Aceh diperluas dengan lahirnya Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014. Di dalam qanun 6 tahun 2014 tersebut Mahkamah Syar’iyah diberi kewenangan 10 jenis jarimah, yakni: Khamar, Maisir, Khalwat, Ikhtilath, Zina, Pelecehan Seksual, Pemerkosaan. Qadzaf, Liwat dan Musahaqah. Dengan berlakunya Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat maka Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2003, Qanun Nomor 13 Tahun 2003 dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dia menjelaskan, dengan diberikannya kewenangan kepada Mahkamah Syar’iyah untuk menyelesaikan perkara di bidang aqidah, muamalah dan jinayat, maka peran Mahkamah Syar’iyah untuk melaksanakan syariat Islam memiliki peran yang sangat strategis. Argumentasi dari pernyataan tersebut dapat dilihat dalam penjelasan umum Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 yang menyatakan, bahwa Setelah kehadiran Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999, tetapi sebelum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, ada sebuah undang-undang lain tentang otonomi khusus untuk Aceh, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Undang-undang ini memperkenalkan qanun sebagai wadah untuk syariat Islam yang akan dijalankan sebagai hukum positif di Aceh, sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Undang-undang ini juga memperkenalkan peradilan syariat Islam di Aceh, yang akan dilakukan oleh Mahkamah Syar`iyah, sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dengan dibantu oleh kepolisian dan kejaksaan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Adanya kalimat yang menyatakan peradilan syariat Islam yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah memberikan pemahaman bahwa benteng pertahanan pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah berada di pundak Mahkamah Syar’iyah.
Sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dua kali dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, bahwa Peradilan Agama (baca Mahkamah Syar’iyah) berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, dan infaq, ekonomi syari’ah serta jinayat khusus di Aceh.
kinerja Mahkamah Syar’iyah selama ini adalah menerima dan memutus perkara-perkara di bidang yang disebutkan di atas. Berdasarkan data perkara masuk dan perkara putus, maka kinerja Mahkamah Sar’iyah seluruh Aceh pada tahun 2021 telah menerima perkara sejumlah 13.741 perkara perdata dan 493 perkara jinayat (pidana). Dari sekian perkara yang diterima, Mahkamah Syar’iyah telah dapat memutus sejumlah 13.551 perkara perdata atau rasio 98, 62 %, sedangkan perkara pidana yang putus sejumlah 474 perkara atau dengan rasio 96,1%.
Dari data yang dijelaskan di atas, bahwa kinerja Mahkamah Syar’iyah se Aceh dalam penyelesaian perkara melebihi 97%.
Adapun usia Mahkamah Syar’iyah di Aceh apabila dilihat dari awal berdirinya maka, sebutan Peradilan Islam sudah berdiri sejak zaman jayanya kerajaan Aceh. Mahkamah Agama lahir sejak 15 Februari 1944, masa pendudukan Jepang di Indonesia. Mahkamah Syar’iyah lahir sejak 1 Agustus 1946 dan berubah pada tahun 1980. Pengadilan Agama untuk Aceh lahir sejak keluarnya Keputusan Menteri Agama RI Nomor 6 Tahun 1980.
Kemudian pada tahun 2003, sebutan Pengadilan Agama kembali menjadi Mahkamah Syar’iyah yang diresmikan pada tanggal 4 Maret 2003/1 Muharram 1424 H. Dengan demikian, dapat dipahami usia Mahkamah Syari’iyah dengan sebutan yang sekarang sampai tahun 2022 mencapai 19 tahun. –ADV/Drs. H. Zulkifli Yus, MH/Eriza